ASPEK HUKUM BISNIS PROPERTI

notarisdanppat.com – ASPEK HUKUM BISNIS PROPERTI , Perkembangan bisnis properti di tanah air melibatkan banyak pihak, baik sektor swasta maupun pemerintah. Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, Badan Pertanahan Nasional, dan Pemerintah Daerah, memiliki peran sentral

dalam program pengadaan perumahan, khususnya perumahan bagi golongan MBR. Para pelaku usaha properti, khususnya pengembang dan kontraktor, juga memiliki andil besar mewujudkan perumahan yang layak bagi masyarakat. Sinergi sektor pemerintah dan swasta tersebut hanya dapat dilakukan jika didukung kemauan politik serta aturan hukum yang memadai.



Hingga saat ini dasar hukum yang dipakai dalam penyelenggaraan

investasi dan bisnis properti di Indonesia, meliputi:

1. UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

2. UU Nomor 20/2011 tentang Rumah Susun,

3. UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung,

4. UU Nomor 18/1999 tentang Jasa Konstruksi,

5. UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

6. UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang,

7. UU Nomor 7/2004 tentang Sumberdaya Air, 8. UU Nomor 38/2004 tentang Jalan,

9. UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

10. UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

11. UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya,

12. UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, 13. UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,

14. UU Nomor 4/1996 tentang Hak Tanggungan,

15. UU Nomor 42/1999 tentang Jaminan Fidusia.

16. UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

17. UU Nomor 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

18. Peraturan perundang-undangan lain Kemajuan pesat bidang properti di Indonesia, kurang didukung regulasi yang memadai. Meskipun Pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta UU Nomor 20/2011 tentang Rumah Susun, namun hingga kini Pemerintah dan DPR belum juga melakukan revisi UU Pokok Agraria (UU Nomor 5/1960) yang dinilai banyak pihak sudah ketinggalan zaman.

Revisi UU Pokok Agraria sangat mendesak dilakukan mengingat undang-undang tersebut merupakan produk hukum warisan Orde Lama yang dalam beberapa hal sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi dan kemajuan perekonomian global. Pemerintah dan DPR telah menerbitkan UU Nomor 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat guna menjamin ketersediaan rumah bagi seluruh masyarakat. Pemerintah Jokowi-JK telah merevisi PP Nomor 41/1996 menjadi PP Nomor 103/2015 yang memungkinkan orang asing memiliki rumah tapak atau unit rumah susun dengan status Hak Pakai dan Hak Sewa. Revisi tersebut dibutuhkan untuk merangsang pemasaran produk properti khusus bagi konsumen warga negara asing.

Bisnis properti tidak bisa dipisahkan dengan aspek penataan ruang sesuai UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. Penataan tata ruang yang selama ini tidak transparan sehingga menimbulkan banyak potensi konflik agraria, saat ini mulai dibenahi pemerintah Jokowi-JK dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Perpres ini diharapkan dapat mengurangi potensi munculnya konflik agraria serta menghilangkan praktik korupsi dan kolusi dalam izin penataan ruang.

Pembangunan perumahan sudah seharusnya mendapat perhatian penuh karena perumahan merupakan salah satu aspek Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini telah diamanatkan dalam UUD 1945 dan telah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan di tanah air. UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Hal senada diatur dalam Pasal 40 UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Pasal 9 UU Nomor 39/1999 menyatakan setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang juga berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, serta berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat



Pidana

Investasi dalam bisnis properti saat ini juga terkait dengan UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian Uang (UU TPPU). Sesuai Pasal 27 UU TPPU, Perusahaan Properti dan atau Agen Properti diwajibkan menyampaikan laporan transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp500 juta kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK).

Laporan transaksi tersebut wajib disampaikan ke PPATK paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan dan jika tidak dilakukan akan terkena sanksi administratif. Sanksi administratif

tersebut dapat berupa:

1. peringatan,

2. teguran tertulis,

3. pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi, 4. denda administratif.

Aturan yang mewajibkan perusahaan properti dan agen properti untuk melaporkan setiap transaksi pembelian properti senilai minimal Rp500 juta tersebut menuai pro kontra. Ada pihak yang keberatan dengan aturan tersebut dengan alasan dapat menurunkan minat masyarakat membeli properti kelas menengah-atas. Namun ada pula pihak yang setuju karena aturan tersebut diperlukan guna memberantas tindak pidana pencucian uang di tanah air. Sebagaimana diketahui, saat ini banyak pelaku kejahatan (seperti korupsi, narkoba, illegal logging) yang menyembunyikan hasil kejahatan dengan cara membeli aset-aset properti berharga mahal.

baca juga

Dalam bisnis properti, peran pelaku usaha jasa konstruksi amatlah vital, sebab di tangan merekalah mutu bangunan perumahan dipertaruhkan. Karena perannya yang sangat besar, maka bidang jasa konstruksi diatur dalam undang-undang khusus yaitu UU Nomor 18/1999 tentang Jasa Konstruksi yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam:

1. PP Nomor 28/2000 jo PP Nomor 4/2010 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.

2. PP Nomor 29/2000 jo PP Nomor 59/2010 tentang Penyelenggaraan

Jasa Konstruksi.

3. PP Nomor 30/2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Kon-

struksi.

Kualitas Bangunan Gedung sangat penting dalam kesuksesan bisnis properti. Oleh karena itu, Pemerintah juga wajib mengatur dan mengawasi pembangunan gedung agar tidak sampai merugikan masyarakat selaku penghuni gedung. Bangunan Gedung saat ini diatur dalam UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung serta PP Nomor 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Kementerian Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya berperan mengatur dan mengawasi implementasi UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung.

Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan/ atau Pemerintah Pusat dengan memperhatikan ketentuan perundang- undangan khususnya UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya. UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 36/2005 dan dalam sejumlah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum seperti:

1. Peraturan Menteri PU Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung,

2. Peraturan Menteri PU Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan,

3. Peraturan Menteri PU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung,

4. Peraturan Menteri PU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung,

5. Peraturan Menteri PU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Tim

Ahli Bangunan Gedung,

6. Peraturan Menteri PU Nomor 45 Tahun 2007 tentang Pedoman

Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara,

7. Peraturan Menteri PU Nomor 24 Tahun 2008 tentang Pedoman

Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung,

8. Peraturan Menteri PU Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran, 9. Peraturan Menteri PU Nomor 26 Tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan

Lingkungan.

Pemerintah melakukan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar untuk pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman, yang diperuntukkan bagi pembangunan Rumah Umum, Rumah Khusus, dan penataan permukiman kumuh. Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pemerintah juga melakukan program pengadaan tanah un- tuk pembangunan bagi kepentingan umum yang diperuntukkan bagi pembangunan Rumah Umum, Rumah Khusus, dan penataan permukiman kumuh. Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dilaksanakan sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36/2005 juncto Perpres Nomor 65/2006 yang saat ini telah di- revisi menjadi UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pem- bangunan untuk Kepentingan Umum.

Guna mempercepat penyediaan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan Masyarakat Berpenghasilan Menengah (MBM), Pemerintah telah membuat program bantuan pembiayaan perumahan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sejak 2010. FLPP dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Perumahan pada Kementerian Perumahan Rakyat.

FLPP diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Per- tanggung-jawaban Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta PMK Nomor 185/PMK.05/2010 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan pada Kementerian Perumahan Rakyat. Kelak pengelolaan FLPP akan disatukan dengan Tabungan Perumahan Rakyat dan dilaksanakan oleh Badan Pe-

nyelenggara Tapera.

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Pembiayaan Sekunder Perumahan, Pemerintah mendirikan Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan (PPSP) berbadan hukum perseroan terbatas yaitu PT (Persero) Sarana Multigriya Finansial (SMF). Salah satu produk SMF adalah surat berharga bernama Efek Beragun Aset (EBA) yang dijual melalui pasar modal. SMF berdiri sejak 22 Juli 2005, berdasarkan PP Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Sekunder Perumahan. Pendirian SMF juga dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan, serta untuk memenuhi amanat Pasal 128 UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Penyelenggaraan kegiatan broker properti saat ini telah diatur berdasar- kan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 33/M-DAG/PER/8/2008 tentang Perusahaan Perantara Perdagangan Properti. Penerbitan Per- mendag Nomor 33/2008 dilatarbelakangi pemikiran bahwa kegiatan perdagangan properti di Indonesia yang dilakukan oleh perusahaan maupun perseorangan telah berkembang dengan pesat, baik jumlah pelaku usaha maupun nilai penjualan properti, seiring dengan perkem- bangan perekonomian Indonesia. Dalam rangka menciptakan kepas- tian hukum, kepastian berusaha, perlindungan terhadap konsumen, mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, serta sebagai upaya untuk menunjang peningkatan kegiatan usaha di bidang pro- perti, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan daya saing, maka Pemerintah perlu mengatur mengenai perusahaan perantara perda- gangan properti.



Pemahaman aspek hukum investasi dan bisnis properti dibutuhkan guna mencegah kegiatan tersebut tidak sampai melanggar hukum. Namun demikian, karena luas dan rumitnya aturan hukum tersebut maka para investor dan pelaku bisnis properti dapat meminta bantuan saran dari para ahli hukum atau konsultan hukum properti. Tentu saja saran dari para ahli tersebut tidak gratis karena mereka juga bekerja berdasarkan prinsip profesionalisme. Jika ingin informasi gratis, kita dapat menghubungi “mbah Google” atau mengunjungi situs internet yang melayani konsultasi hukum gratis seperti hukumonline.com. Kita

juga dapat membaca buku atau majalah properti.

Hingga saat ini dasar hukum yang dipakai dalam penyelenggaraan investasi dan bisnis properti di Indonesia meliputi:

a) UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, b) UU Nomor 20/2011 tentang Rumah Susun,

c) UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung, d) UU Nomor 18/1999 tentang Jasa Konstruksi,

e) UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, f) UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, g) UU Nomor 7/2004 tentang Sumberdaya Air, h) UU Nomor 38/2004 tentang Jalan,

i) UU Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya,

j) UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

k) UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

1) UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, m) UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan

untuk Kepentingan Umum,

n) UU Nomor 4/1996 tentang Hak Tanggungan,

o) UU Nomor 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, p) UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, q) UU Nomor 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, dan lain-lain.

Pemahaman aspek hukum dalam kegiatan investasi dan bisnis properti sangat dibutuhkan guna mencegah agar kegiatan tersebut tidak sampai melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, karena luas dan rumitnya aturan hukum tersebut maka para investor dan pelaku bisnis properti dapat meminta bantuan saran dari para ahli hukum properti atau konsultan hukum properti. Tentu saja saran tersebut tidak gratis karena mereka bekerja berdasarkan prinsip profesionalisme.

Jika ingin informasi yang gratis, kita dapat menghubungi “mbah Google” (mesin pencarian) atau mengunjungi situs internet yang melayani konsultasi hukum secara gratis seperti www.hukumonline.com. Kita pun juga dapat membaca buku atau majalah yang membahas tentang hukum properti.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *